Panduan Lengkap Uji Disolusi: Memenuhi Standar BPOM
Uji disolusi merupakan tahapan penting dalam pengembangan dan pengawasan mutu sediaan farmasi, khususnya untuk memastikan pelepasan zat aktif obat dalam bentuk sediaan padat (tablet, kapsul) dan cair. Di Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menetapkan standar dan pedoman yang harus dipenuhi. Artikel ini akan membahas panduan lengkap uji disolusi agar sesuai dengan standar BPOM.
Apa itu Uji Disolusi?
Uji disolusi adalah suatu metode analisis farmasi yang digunakan untuk menentukan laju dan jumlah zat aktif yang melarut dari sediaan obat dalam suatu medium pelarut tertentu dibawah kondisi yang terkontrol. Hasil uji ini penting untuk memastikan bioavailabilitas obat, konsistensi kualitas antar batch produksi, dan efektivitas terapi.
Mengapa Uji Disolusi Penting?
Kualitas dan Konsistensi Produk: Uji disolusi memastikan bahwa setiap batch sediaan obat melepaskan zat aktif dengan laju dan jumlah yang konsisten, sesuai spesifikasi yang ditetapkan. Hal ini sangat penting untuk memastikan keamanan dan khasiat obat.
Bioavailabilitas: Uji disolusi membantu memprediksi bioavailabilitas obat, yaitu seberapa banyak dan seberapa cepat zat aktif obat terserap ke dalam aliran darah setelah pemberian. Bioavailabilitas yang rendah dapat mengurangi efektivitas terapi.
Kepatuhan terhadap Regulasi BPOM: Uji disolusi merupakan persyaratan wajib yang ditetapkan oleh BPOM untuk memastikan kualitas dan keamanan obat yang beredar di Indonesia. Ketidakpatuhan dapat mengakibatkan penolakan izin edar atau penarikan produk dari pasaran.
Parameter Uji Disolusi yang Perlu Diperhatikan (Sesuai Pedoman BPOM):
- Medium Disolusi: Jenis dan volume medium disolusi harus sesuai dengan spesifikasi yang tertera dalam monografi obat atau pedoman BPOM. Pemilihan medium disesuaikan dengan sifat fisikokimia obat dan formulasi.
- Suhu: Suhu medium disolusi harus dikontrol dan dijaga konstan selama pengujian. Suhu yang umum digunakan adalah 37Β°C.
- Kecepatan Pengadukan: Kecepatan pengadukan (rotasi per menit/rpm) mempengaruhi laju disolusi. Kecepatan harus dikontrol dan konstan sesuai dengan spesifikasi.
- Waktu Pengambilan Sampel: Waktu pengambilan sampel harus sesuai dengan spesifikasi, biasanya dilakukan secara periodik selama durasi uji disolusi.
- Metode Analisis: Metode analisis yang digunakan harus spesifik, akurat, dan presisi untuk menentukan kadar zat aktif yang terlarut dalam medium disolusi. Metode spektrofotometri UV-Vis sering digunakan.
- Validasi Metode: Sebelum digunakan, metode analisis harus divalidasi untuk memastikan akurasi, presisi, linieritas, batas deteksi, dan batas kuantitasi.
Interpretasi Hasil Uji Disolusi:
Hasil uji disolusi biasanya dinyatakan sebagai persentase zat aktif yang terlarut pada waktu tertentu. Hasil ini kemudian dibandingkan dengan spesifikasi yang ditetapkan dalam monografi obat. Jika hasil uji disolusi tidak memenuhi spesifikasi, maka perlu dilakukan investigasi untuk mencari penyebabnya dan melakukan perbaikan pada formulasi atau proses produksi.
Kesimpulan:
Uji disolusi merupakan prosedur penting yang harus dipenuhi untuk memastikan kualitas, keamanan, dan kemanjuran sediaan obat. Pemahaman yang mendalam tentang parameter uji dan pedoman BPOM sangat krusial dalam menjalankan uji disolusi yang valid dan reliable. Kepatuhan terhadap standar BPOM sangat penting untuk keberhasilan produk farmasi dalam pasar Indonesia. Keterampilan dan keahlian yang tepat diperlukan dalam pelaksanaan uji disolusi yang akurat.